
manajemen dengan roh revolusi mental pada tahun 2014 saat menghadapi pilihan presiden di Indonesia. Jika dimaknai, revolusi mental merupakan pola yang harus dilakukan untuk mengubah mental bangsa Indonesia yang dirasakan kurang mendukung keterwujudan kemakmuran Indonesia. Dengan mental yang diubah secara revolusi, bukan evolusi, tentu akan mucul persepsi baru yang mengental di alam bawah sadar bangsa Indonesia dalam segala perilaku yang mewujud kemakmuran Indonesia. Jadi, konsentrasi revolusi berada pada mental bukan fisik dan pikiran semata.
Jika memang demikian, mau tidak mau, ranah yang harus disentuh dengan holistik adalah bidang pendidikan. Mengapa bidang pendidikan? Bidang inilah yang secara intensif menjejali generasi muda tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap di kelas-kelas. Kemudian, di jalur informal dan nonformal, bidang pendidikan memberikan panduan normatif untuk berproses dalam mengembangkan diri di tengah keluarga dan masyarakat.
Revolusi mental bidang pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam implementasinya karena kuatnya mental lama yang bercokol dalam sepak terjang pemikiran, perilaku, dan sikap bangsa Indonesia. Mental lama yang bercokol itu tumbuh subur akibat alur yang dihadapi bangsa Indonesia berjalan linear semata. Bentul mental lama itu adalah (1) mental dijajah, yakni mental yang dibentuk lama oleh penjajah dari Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang di tanah nusantara ini. Mental tersebut membentuk anggapan kuat bahwa bangsa Indonesia lebih rendah dibandingkan bangsa penjajah, pasrah akan warna kehidupan yang dijalani selama ini, takut berbuat sesuatu karena merasakan masih ada yang lebih hebat, dan seterusnya; (2) mental jalan pintas, yakni mental yang terbangun akibat KKN (korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang terbangun sejak lama dari era kolonialisme sampai sekarang. Mental tersebut disebabkan oleh penguasa yang mampu mengubah segalanya, memperlancar segalanya, dan mengurusi yang tidak bisa menjadi bisa di aspek segalanya, mengakali peraturan untuk segalanya; (3) mental seolah-olah, yakni mental yang menunjukkan ABS (Asal Bapak Senang) dengan mengedepankan seolah-olah baik tetapi tidak baik, seolah-olah sukses tetapi tidak sukses, seolah-olah berhasil tetapi tidak berhasil. Istilah seolah-olah bersumber dari narasi Romo Mangunwijaya Jogjakarta; (4) mental konsumtif, yakni mental yang terbentuk akibat tidak mau susah sehingga mengedepankan pembelian untuk memenuhi kebutuhan pribadi sebanyak-banyaknya untuk menuju harga diri kemewahan. Mental tersebut diwarnai oleh serbakekurangan meskipun sebenarnya kecukupan. Mobil satu yang sebenarnya cukup dianggap kurang karena mempunyai uang untuk membeli yang baru lagi demi gensi; (5) mental ke-aku-an, yakni mental yang merasa dirinya lebih baik dibandingkan orang lain akibat merasa lebih hebat, lebih pintar, lebih kaya, dan seterusnya; (6) mental Narima, yakni mental menerima apa adanya keadaan saat ini karena menganggap sebagai takdirnya.
Mental lama itulah yang sangat tepat untuk direvolusi melalui revolusi mental. Di bidang pendidikan, revolusi mental dapat dijalankan dengan apik jika dilakukan revolusi terhadap sistem pendidikan yang ada selama ini. Bagaimana caranya? Ikuti di episode kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar