Blitar - Dari tahun ke
tahun tepatnya setiap penangalan Maulud yang notabene bertepatan dengan
Peringatan Hari Keagamaan Maulud Nabi Muhammad SAW atau tanggal 12
Rabiul Awal dan l Syawal, masyarakat Kabupaten Blitar menggelar ritual
siraman Gong Kyai Pradah di Pendopo Kecamatan Sutojayan. Seperti halnya
kali ini, Rabu (14/1), Bupati Blitar, H. Herry Noegroho yang didampngi
Wakil Bupati Blitar dan beberapa unsur Forpimda serta Kepala SKPD
memimpin langhusng acara adat tersebut.
Tujuan dari kegiatan ini antara
lain; melestarikan budaya bangsa sebagai warisan leluhur. Selain itu,
masyarakat luas meyakini, Siraman Gong Kyai Pradah memberi berkah.
Bupati Blitar, H. Herry Noegroho dalam sambutannya mengungkapkan,
tradisi Siraman Gong Kyai Pradah yag dilaksanakan setiap tahun ini
sebagai wujud nguri-nguri budaya bangsa. Juga bentuk melindungi cagar
budaya untuk anak cucu serta menyejahterakan masyarakat. Mengingat
masyarakat dari berbagai daerah ngalap berkah, mencari rejeki dengan
berjualan di lokasi siraman Gong Kyai Pradah tersebut. Dalam kesempatan
yang sama dihadapan ribuan masyarakat yang memadati lokasi ritual
siraman, orang nomor satu di Kabupaten Blitar ini menjelaskan, tahun
2014 merupakan tahun politik, yakni pemilihan anggota legislatif dan
presiden serta wakil presiden. Diharapakan, masyarakat Kabupaten Blitar
bisa pro aktif dalam pesta demokrasi tersebut. Menggunakan hak pilihnya
dengan bijak sekaligus turut serta menciptakan suasana tetap kondusif.
Sekedar catatan, siraman Kyai Pradah adalah kegiatan memandikan benda
pusaka berupa sebuah gong dengan menggunakan air kembang setaman.
Seperti tahun sebelumnya, untuk melengkapi kegiatan ini ditampilkan pula
beberapa tarian khas Jawa diantaranya gambyong. Selain itu, kenduri
yang selanjutnya diperebutkan oleh masyarakat.
Sejarah Singkat Gong Kyai Pradah
Ada yang mengatakan bahwa Kyai Pradah
dibuat oleh Sunan Rawu, kembaran Kyai Becak, pusaka R.M. Said atau
Pangeran Mangkunegoro I.Ada pula yang mengatakan bahwa Kyai Pradah
berasal dari Adipati Terung, kembaran dari tongkat sakti Tikus Jinodo
yang diberi nama Kyai Macan, yang diturunkan kepada Kyai Pengging
sebagai kembaran Bende Udan Arum. Kyai Macan tersebut kemudian dipinjam
oleh Sunan Kudus sebagai tengoro bagi lasykar Demak sewaktu menyerang
kerajaan Majapahit. Mengenai riwayat gong tersebut sampai sekarang belum
diperoleh sumber data yang pasti, hanya dari cikal bakal daerah Lodoyo
dan tutur kelantur di masyarakat diperoleh gambaran sebagai berikut: Ada
yang mengatakan bahwa Kyai Pradah dibuat oleh Sunan Rawu, kembaran Kyai
Becak, pusaka R.M. Said atau Pangeran Mangkunegoro I. Kyai Macan
tersebut kemudian dipinjam oleh Sunan Kudus sebagai tengoro bagi lasykar
Demak sewaktu menyerang kerajaan Majapahit. Pelacakan oleh Bupati
Blitar dan Asisten Kediri pada tahun 1927, mengenai riwayat Kyai Pradah,
diperoleh informasi sebagai berikut: Sewaktu tentara Demak akan
menggempur kerajaan Majapahit, Sunan Kudus mengikuti dari belakang
sambil membawa bende Kyai Macan. Berhubung pasukan tentara Demak lebih
kecil bila dibandingkan dengan pasukan tentara Majapahit, maka pasukan
tentara Demak kemudian berpencar. Pada saat itu, wilayah sekitar
Majapahit masih berupa hutan, sehingga ketika Kyai Macan dipukul,
suaranya yang menyerupai harimau menggaum memantul ke segala penjuru.
Mendengar suara itu, tentara Majapahit mengira tentara Demak mengerahkan
harimau siluman. Banyak di antara mereka ketakutan dan meninggalkan pos
penjagaan. Hal itu justru memudahkan tentara Demak masuk ke dalam kota
Majapahit dan mendudukinya. Sesudah kerajaan Majapahit roboh, berdirilah
kerajaan Demak. Kyai Macan kemudian dijadikan pusaka Demak disatukan
dengan gamelan Sahadatin. Sejak itu, Kyai Macan berpindah-pindah menjadi
pusaka Pajang dan Kartosuro. Menurut cerita, Sunan Paku Buwono I
mempunyai seorang putra dari garwo ampeyan bernama Pangeran Prabu.
Sewaktu garwo padmi belum berputra, Pangeran Prabu dijanjikan akan
diangkat menjadi raja sebagai pengganti dirinya. Namun, ternyata garwo
padmi melahirkan seorang putra laki-laki. Agar tidak menimbulkan perang
saudara, Pangeran Prabu disuruh pergi ke hutan Lodoyo untuk babad
mendirikan kerajaan. Saat itu, hutan Lodoyo terkenal wingit, maka
Pangeran Prabu diberi gong Kyai Macan sebagai tumbal. Pangeran Prabu
bersama-sarna isterinya, Putri Wandansari, kemudian berangkat babad
disertai beberapa abdi. Sebenarnya Sunan Paku Buwono I berbuat demikian
itu bukan bermaksud agar Pangeran Prabu berhasil mendirikan kerajaan,
melainkan agar Pageran Prabu mengalami kehancuran dari godaan jin.
Dilain pihak, Pangeran Prabu sendiri sebenarnya juga tidak ingin
mendirikan kerajaan karena beliau sesungguhnya seorang ulama besar.
Pangeran Prabu dapat menangkap maksud Sunan Paku Buwono I terhadap
dirinya. Sehingga untuk menghilangkan jejaknya, beliau berpindah-pindah
tempat tinggalnya. Setiap menempati lokasi baru, beliau mengadakan
pengajian. Pangeran Prabu kemudian mendirikan pondok. Pondok Pangeran
Prabu atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Panembahan Imam
Sampurna, semakin lama bertambah banyak muridnya. Keberhasilan itu
akhirnya terdengar oleh Adipati Srengat yang bernama Pangeran
Martodiningrat, maka segera dilaporkan ke Kartosuro karena dikhawatirkan
Pangeran Prabu akan mendirikan kerajaan. Kartosuro pun kemudian
mengirim tentaranya dibantu oleh kompeni Belanda. Pangeran Prabu atau
Panembahan Imam Sampurno mengetahui hal itu lalu bersembunyi di hutan
Kedung Bunder dan berganti nama menjadi Mbah Tjingkrang. Kata Tjingkrang
mengandung arti ’maksud beliau belum tercapai’. Mbah Tjingrang akhirnya
menetap di Kedung Bunder sampai akhir hayatnya. Makam Mbah Tjingkrang
pun akhirnya menjadi punden keramat. Kyai Macan yang disertakan Pangeran
Prabu pada waktu hendak babad, karena tempat tinggalnya
berpindah-pindah, Kyai Macan kemudian dititipkan pada Nyi Partosoeto
dengan pesan agar setiap tanggal 12 Rabiul Awal dan 1 Syawal disiram
dengan air kembang setaman dan diborehi. Dikatakan pula bahwa air bekas
siraman Kyai Macan dapat dipakai untuk menyembuhkan orang sakit. Setelah
Nyi Partosoeto meninggal dunia, Kyai Macan disimpan oleh Ki Rediboyo,
lalu tumurun ke Kyai Rediguno, dan tumurun lagi ke Ki Imam Setjo, yang
bertempat tinggal di Dukuh Kepek, Ngeni. Ketika disimpan Ki Imam Setjo,
terjadi kejadian yang agak ganjil mengenai jiwa penduduk. Setiap ada
anak lahir pasti ada orang yang meninggal dunia. Di tengah suasana. yang
demikian itu, ada seseorang bermimpi agar anaknya terhindar dari
serangan penyakit, maka ia harus nyekar ke Kyai Macan. Saran dalam
impian itupun dilaksanakan dan ternyata berhasil. Tindakan itu kemudian
banyak diikuti hingga tersiar sampai ke tempat yang jauh. Semakin lama
semakin banyak orang meminta berkah kepada Kyai Macan. Karena
kebaikannya itu, Kyai Macan kemudian diberi nama Kyai Pradah. (humaskab.Blitar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar