Pada
akhir tahun 2015 mendatang, wacana Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan
direalisasikan, dimana negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang
tergabung dalam ASEAN termasuk Indonesia akan melebur dan bersama-sama
memasuki era baru dalam bidang perekonomian khususnya perdagangan di area pasar bebas dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Jauh
sebelum wacana Masyarakat Ekonomi Eropa (MEA) ini di publikasikan dan
diimplementasikan, telah diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor : 97/M-IND/PER/8/2010 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Unggulan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing bernilai tinggi dari hasil industri unggulan daerah tersebut.
Sebagai
salah satu provinsi yang dikenal dengan dengan sektor industri paling
maju di Kawasan Indonesia Timur (KIT), secara otomatis Sulawesi Selatan
telah menjadi tolok ukur pertumbuhan industri daerah dan menjadi
pendorong bagi daerah sekitarnya dan daerah-daerah lain yang masih
tertinggal. Jika industri yang berbasis potensi unggulan tidak dapat
ditingkatkan, maka pada saat pelaksanaan MEA diakhir tahun 2015
mendatang, komoditi unggulan Sulawesi Selatan yang di ekspor akan lebih
banyak dalam bentuk mentah dan minim nilai tambah, sehingga kesiapan
Sulawesi Selatan secara umum baik pemerintah setempat, swasta dan stakeholder
terkait lainnya sangat diperlukan dalam menyongsong berlakunya MEA 2015
agar dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan
perekonomian Sulawesi Selatan khususnya dan tingkat nasional pada
umumnya.
Terkait
dengan kesiapan Industri Manufaktur Provinsi Sulawesi Selatan dalam
menghadapi MEA pada akhir tahun 2015 mendatang, sudah selayaknya jika
Provinsi Sulawesi Selatan sebagai wilayah dengan kekayaan alam yang
melimpah ruah dan di jadikan tolok ukur di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
ini terus berupaya mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam
menyambut MEA 2015, yang misalnya dapat dilakukan dengan cara
mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengupayakan interkoneksi antar wilayah
dan meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan
aksesibilitas dan interkoneksi barang dan Sumber Daya Manusia (SDM) nya.
Salah satu langkah nyata yang telah dilakukan diantaranya proyek ground breaking yaitu proyek
kereta api Trans Sulawesi di Desa Siawu, Kabupaten Barru, Sulawesi
selatan yang telah diresmikan pada tanggal 12 Agustus 2014. Proyek
tersebut merupakan pembangunan tahap pertama KA Trans Sulawesi (Makasar - Pangep - Barru - Parepare)
sepanjang sekitar 145 km dengan kebutuhan lahan sekitar 726,4 ha dan
target pengerjaan konstruksi selama kurang lebih 4 tahun. Proyek tahap
pertama dengan anggaran sekitar Rp. 9,65 triliun antara lain untuk
keperluan pembebasan lahan (Rp. 800 Milyar - 1 Triliun) dan sisanya
untuk pembangunan infrastruktur (trase kereta api, pengerjaan 9 jembatan, pengerjaan signal dan marka kereta api, serta pembangunan stasiun serta depo).
Berdasarkan
pada keterangan dari Kepala Biro Perekonomian Provinsi Sulawesi
Selatan, Hadi Bassalama, bahwa di masa yang akan datang, sektor
pertambangan, sektor pertanian (kehutanan dan perkebunan)
dan perikanan akan di dorong ke sektor industri untuk meningkatkan
nilai tambahnya. Salah satu komoditi yang berhasil di kembangkan adalah
komoditas kakao yang telah mendorong tumbuhnya industri pengolahan kakao
setengah jadi menjadi produk kakao powder dan kakao butter. Namun
sayangnya hingga saat ini industri tersebut lebih banyak berada di
daerah-daerah Jawa. Pada kondisi seperti ini tentunya sangat diperlukan political will
dari pemerintah pusat untuk mendorong terciptanya iklim yang kondusif
sehingga dapat menarik investasi ke wilayah timur sebagai upaya bersama
dalam menyambut MEA 2015.
Mengingat
pentingnya peran serta swasta dalam meningkatkan daya tahan industri
dan agar program yang sudah dicanangkan sejak beberapa tahun yang lalu
dapat berjalan secara realistis dan terukur dengan parameter yang jelas,
maka melalui program Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang diperbaharui (re-branding) menjadi Kawasan ekonomi Khusus (KEK),
Pemprov Sulawesi Selatan juga menuntut kalangan ekonomi swasta untuk
merealisasikan rencana investasinya sebagaimana tercantum dalam KAPET
dan KEK.
Permasalahan
utama perekonomian di Sulawesi selatan dan Indonesia pada umumnya
adalah mahalnya biaya logistik seperti yang tercermin dari rendahnya
ranking Logistic Performance Index (LPI) Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN. Contohnya
dapat dilihat dari harga logistik tujuan dari Makassar - Jakarta yang
jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan tujuan Jakarta - Tiongkok.
Biaya angkut 1 kontainer dari Tiongkok - Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta saja hanya US$590, sementara biaya angkut dari Tanjung Priok -
Makassar malahan mencapai US$600
Jika
dicermati, dengan jumlah penduduk dan PDB terbesar di ASEAN, sebenarnya
Indonesia berpeluang besar untuk dapat menguasai dan eksis di pasar MEA
2015 mendatang. Bahkan menurut data World Bank, PDB Indonesia tahun
2013 mencapai US$868,3 Milyar atau 30% dari PDB seluruh negara-negara di
ASEAN. Jumlah penduduk Indonesia sendiri sebenarnya berpeluang untuk
dimanfaatkan dalam mendorong meningkatnya penggunaan produk-produk dalam
negeri, sehingga industri manufaktur dalam negeri akan tumbuh lebih
cepat dan stabil. Penggunaan produk dalam negeri tersebut tidak hanya
kan mendorong industri skala besar dan menengah tetapi juga akan memacu
pertumbuhan Industri Kecil Menengah (IKM),
tetapi tentunya semua tidak akan terwujud jika tidak didukung dengan
peningkatan intermediasi pihak per-bank-an sebagai yang berkompetensi
dibidang finansial terhadap sektor IKM.
Tentunya,
sektor industri tidak hanya menjadi ujung tombak bagi pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Selatan saja, tetapi juga sebagai sarana pemerataan
ekonomi ke sentra-sentra produksi berbasis agro, kehutanan, perikanan
kelautan dan pertambangan. Berdasarkan pada data dari Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan, pada 2012 sektor
industri Sulawesi selatan tumbuh cukup tinggi, namun pada 2013 pertumbuhannya mengalami penurunan karena terpengaruh dengan perlambatan ekonomi nasional.
Sementara itu, menurut data BPS pertumbuhan produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang (IBS) Sulawesi Selatan pada 2012 sebesar 7,93% pada 2013 turun menjadi 6,87% dan pada triwulan - I tahun 2014 q-to-q pertumbuhan IBS -0,54% dan y-on-y hanya
naik sebesar 0,58%. Namun demikian, ekspor sektor industri sulawesi
Selatan dalam 2 (dua) tahun terakhir terlihat masih relatif tinggi,
dibandingkan sektor pertanian dan pertambangan.
Kinerja Ekspor Provinsi Sulawesi Selatan
NO
|
SEKTOR
|
VOLUME
(Ribu Ton)
|
NILAI
(Juta US$)
|
||||
2012
|
2013
|
2014*
|
2012
|
2013
|
2014*
|
||
1
|
Pertanian
|
146,34
|
165,27
|
79,18
|
323,29
|
354,45
|
160,61
|
2
|
Industri
|
212,67
|
273,31
|
120,04
|
141,25
|
169,35
|
109,97
|
3
|
Pertambangan
|
72,29
|
71,58
|
42,13
|
981,82
|
921,69
|
542,49
|
Jumlah
|
431,30
|
510,16
|
241,35
|
1.446,36
|
1.445,59
|
810,07
|
Ket. : 2014* adalah data Januari-Juni. Sumber : Disperindag Prov Sulawesi Selatan
Sementara
itu, dalah hal kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB
Sulawesi Selatan juga terlihat relatif tinggi dan menunjukan peningkatan
setiap tahunnya, baik dari segi nilai maupun prosentasi kontribusinya.
Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Terhadap PDRB Provinsi SulSel (Rp Milyar)
NO
|
JENIS
PDRB
|
TAHUN
|
|||||
2011
|
%
|
2012
|
%
|
2013
|
%
|
||
1
|
Atas Harga Konstan
|
7,394.50
|
13.42
|
8,083.50
|
13.54
|
8,774.56
|
13.65
|
2
|
Atas Harga Berlaku
|
16,789.30
|
12.22
|
19,492.50
|
12.23
|
22,743.55
|
12.32
|
Ket. : % adalah kontribusi terhadap total PDRB Sulawesi Selatan. Sumber : Disperindag Prov. SulSel
Secara
umum, iklim investasi di Sulawesi selatan sangatlah kondusif dalam
menyambut pelaksanaan MEA 2015 yang tergambar dari cukup tingginya
realisasi investasi PMA maupun PMDN Sulawesi Selatan. Berdasarkan data
dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Sulawesi Selatan,
periode 2010-2014 jumlah proyek investasi PMA lebih banyak dibandingkan
realisasi proyek PMDN kecuali pada tahun 2012. Hal
ini tentunya berpotensi menyebabkan investasi PMA dari negara-negara
ASEAN akan membanjiri Sulawesi Selatan pasca pemberlakuan MEA 2015.
Untuk mencegah kesenjangan tersebut, perlu program peningkatan investasi
PMDN ke Sulawesi Selatan agar pelaku usaha nasional tidak hanya menjadi
penonton di negeri sendiri.
NO
|
PERIODE
|
REALISASI INVESTASI
|
|||
PMA
|
PMDN
|
||||
PROYEK
|
NILAI (US$)
|
PROYEK
|
NILAI (RpMilyar)
|
||
1
|
2010
|
34
|
441.796.125
|
23
|
3.212,29
|
2
|
2011
|
53
|
89.559.254
|
49
|
3.986,30
|
3
|
2012
|
42
|
582.533.830
|
54
|
2.318,83
|
4
|
2013
|
88
|
462.775.790
|
57
|
921.02
|
5
|
2014 TW II
|
44
|
168.241.800
|
30
|
545,95
|
Sumber : BKPMD Prov. Sulawesi Selatan
|
Dilihat
dari segi kesiapan, ketersediaan energi dan infrastruktur untuk
menopang pertumbuhan ekonomi khususnya sektor industri, Sulawesi Selatan
merupakan pintu gerbang perekonomian di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
dan memiliki akses dan peluang yang besar di MEA 2015, sehingga
kalangan pengusaha khususnya di Sulawesi Selatan perlu mempersiapkan
diri dengan baik karena para investor pasti akan melihat Sulawesi
Selatan sebagai kawasan investasi yang paling menarik.
Indonesia
juga perlu menyiapkan sumber daya manusia yang handal dan lebih
profesional di bidangnya, mengingat tenaga kerja profesional Indonesia
masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di
ASEAN. Para pengusaha juga berharap pemerintah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan baru yang lebih memihak pengusaha dalam negeri agar
dapat memanfaatkan peluang MEA 2015 dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan
pada data-data tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa saat ini
sektor industri manufaktur di sulawesi Selatan nampaknya sudah cukup
siap menghadapi MEA yang akan diimplementasikan pada akhir tahun 2015
yang ditandai dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan yang positif
dan pertumbuhan ekspor produk industri yang terus meningkat serta
kontribusi sektor sumber daya alam (SDA) menjadi industri pengolahan bernilai tambah dan berdaya saing.
Namun
demikian, pengelolaan potensi daya ekonomi belumlah optimal karena
dilihat dari adanya beberapa komoditas yang berasal dari Sulawesi
Selatan masih dipasok dalam bentuk mentah ke daerah lain yang memiliki
industri pengolahan, sehingga di masa yang akan datang masih sangat
diperlukan komitmen dari pemerintah pusat dan daerah untuk terus
mendorong tumbuhnya industri pengolahan di Sulawesi Selatan agar dapat
mengolah berbagai komoditas yang bernilai tambah tinggi.
Sulawesi
Selatan dikenal memiliki berbagai potensi SDA pada sektor pertanian
(padi, jagung),peternakan (sapi, ikan, udang dan rumput laut),
perkebunan (kelapa sawit, kopi, mete, kakao) dan hasil hutan (kayu,
rotan) dan sektor pertambangan (emas, besi, nikel dan tembaga). Sulawesi
Selatan juga di kenal memiliki potensi SDM dan kondisi infrastruktur
yang relatif paling baik di Kawasan Indonesia Timur (KIT),
sehingga menjadi salah satu tujuan investasi yang cukup menarik jika
dibandingkan dengan kawasan timur lainnya, akan tetapi sejauh ini
kalangan investor yang masuk ke Sulawesi Selatan sebagian besar
merupakan penanaman modal asing (PMA), sementara penanaman modal dalam negeri (PMDN) relatif masih kecil. Hal
ini tentunya dapat mengancam pertumbuhan perekonomian dimasa yang akan
datang, karena dengan jumlah PMA yang lebih besar dibandingkan PMDN,
maka pasca implementasi MEA 2015, perekonomian Sulawesi Selatan akan
didominasi oleh pihak asing.
Indonesia
dengan PDB dan jumlah penduduk terbesar di ASEAN merupakan magnet
pertumbuhan ASEAN, sementara daya saing industri relatif masih rendah
jika dibandingkan dengan beberapa negara-negara ASEAN lainnya. Agar
pasca pelaksanaan MEA 2015, pasar dalam negeri tidak diserbu
prduk-produk negara-negara ASEAN lainnya, pemerintah perlu mendorong
masyarakat Indonesia untuk menggunakan produk dalam negeri, dengan
penerapan program cinta produk dalam negeri sehingga industri manufaktur
dalam negeri terus bertumbuh dan am negeri tetap terkendali dari
serbuan produk-produk impor dari negara-negara ASEAN lainnya.
Salah
satu langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah mulai dari sekarang
adalah dengan mengangkat potensi-potensi kedaerahan, seperti contohnya
gerakan menggunakan batik ,
gerakan memakai baju daerah pada hari-hari tertentu (baju sutra di
daerah Sulawesi Selatan, Kebaya encim dan baju koko di Jakarta, dll),
memajang produk-produk kerajinan daerah di pusat-pusat wisata dan pusat
perdagangan serta meningkatkan widata budaya daerah, dll.
Koordinasi
yang baik dari dinas-dinas terkait juga sangat diperluakan seperti
dinas Kementerian Perindustrian dan BKPM yang harus konsisten berupaya
mendorong tumbuh kembangnya industri manufaktur daerah-daerah sesuai
dengan potensi yang dimiliki. Sementara itu dinas Kementerian Pekerjaan
Umum (PU) juga harus berupaya keras dalam hal meningkatkan kualitas
infrastruktur yang dapat mendukung kelancaran distribusi barang dan jasa
dengan biaya logistik yang bersaing. Terakhir tentunya dari dinas
Perdagangan dan Pemerintahan daerah Sulawesi Selatan sendiri untuk
melakukan upaya-upaya yang dapat mendorng meningkatnya konsumsi
produk-produk dalam negeri oleh masyarakat Indonesia pada umumnya,
sehingga secara otomatis akan mendorong pertumbuhan industri pengolahan
dalam negeri.
Sumber : www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar